Dia kemudian
mengambil segenggam garam dan meminta anak muda itu mengambil segelas air. Dia
menabur garam itu ke dalam gelas sebelum mengacaunya dengan sudu.
"Cuba , minum ini
dan katakan bagaimana rasanya...", ujar Pak Tua itu.
Kemudian, dia
mengajak tetamunya itu untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan berhampiran
tempat tinggalnya. Mereka berjalan beriringan dan akhirnya sampai ke tepi
perigi yang tenang itu.
Pak Tua itu menabur
segenggam garam ke perigi itu dan menggunakan sepotong kayu untuk mengacau dan
mencipta riak air yang mengusik ketenangan telaga itu.
"Cuba
ambil air dari telaga ini, dan minumlah". Sebaik anak muda
itu selesai meneguk air, Pak Tua berkata: "Bagaimana rasanya?"
"Segar." sahut tamunya.
Pak Tua menepuk
punggung anak itu lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di tepi telaga
itu.
"Anak muda,
dengarlah. Pahitnya kehidupan adalah umpama segenggam garam, tak lebih dan tak
kurang. Jumlah dan rasa pahit itu sama dan memang akan tetap sama. Tapi,
kepahitan yang kita rasakan sangat tergantung dari wadah atau tempat yang kita
miliki. Kepahitan itu akan diasaskan daripada perasaan tempat kita meletakkan
segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita.
"Jadi, saat kamu
rasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang boleh kamu
lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk
menampung setiap kepahitan itu. Luaskan wadah pergaulanmu supaya kamu mempunyai
persekitaran hidup yang luas. Kamu akan banyak belajar daripadanya,"
katanya.
Lalu, kedua-duanya pulang. Mereka sama-sama belajar pada hari itu. Pak Tua, si
orang bijak itu, kembali menyimpan 'segenggam garam' untuk anak muda yang lain,
yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan